Senin, 03 Mei 2010

Anis dengan Penghobi Anis

Tulisan ini hanya sekedar pengalaman ketika memelihara burung anis merah/anis cacing/anis bata. Patut diakui, memelihara anis tidak semudah memelihara jenis burung lainnya. Hal yang tersulit adalah membuat anis berkicau seperti burung lainnya.

Karena itu, rekan-rekan penghobi burung sering bercanda dengan mengatakan, “Kalau anis kita nyeriwik alhamdulillah, kalau berkicau bersyukurlah, kalau teler numpenglah, tetapi kalau masih bungkam innalillah, bersabarlah…,”.

Canda mereka bukanlah sekedar perkataan yang tidak berisi atau kosong. Perkataan itu timbul dari buah pengalaman masing-masing yang terasa saat memelihara burung anis. Jadi kalau memiliki anis yang gacor dan teler, adalah kenikmatan yang luar biasa mengingat masih banyak rekan-rekan penghobi anis yang hingga sekarang masih menunggu burungnya bunyi.

Penulis pun terkadang kesal. Namun bukan pohon mangga yang ditanam kalau tidak berbuah mangga. Semua ada waktunya, lain lagi kalau memiliki anis bisu dari sononya. Sekedar menyemangati, semua burung berkicau pasti berkicau namun ada prosesnya. Semua tergantung dari kondisi alamiah dari burung tersebut. Kalau anis bisa ngomong, tidak perlu repot-repot berspekulasi, tinggal menunggu janji.

Namun kenyataannya, tidak sedikit para pemula atau para penghobi terjangkit penyakit “jiwa”. Dari menit ke menit, jam ke jam, hari-ke hari, hingga bulan dan tahun berganti, burung anis masih tetap diam, sementara burung lainnya yang diurus dari anak saja sesudah memelihara anis, berkicau riang. Apa tidak menggemaskan dan menjengkelkan?

Jadi jangankan gacor, suara melantun kecil dari anis yang di simpan di kamar mandi, yang dapat didengar oleh suara kuping yang sehat, girangnya bukan main. “Haiya, anis saya bunyi. Ini mah tidak akan lama lagi.”

Itu pasti, bukan hanya orang serumah, teman-teman se-kampung maupun yang ada di Ujung Kulon pun diberitahu, saking kegirangan. Malahan orang-orang yang lalu lalang di depan rumah pun diberitahu.

Padahal, mulai membeli anis dari tahun 2000-an dan mengurus hingga 2010-an, baru kali ini mendengar anisnya nyiriwik. Waktu yang terlangkahi sekian tahun itu seakan tidak ada artinya. Kemarau seabad sirna oleh hujan sejam. Mungkin bahasa ini yang bisa digambarkan.

Namun permasalahan tidak hanya di situ, dari hari-ke hari anis masih nyeriwik. Dari ambrol hingga beres bulu anis masih nyeriwik. Harapan itu digantung. Pengen dijual takut di orang lain berkicau, dipelihara luar biasa menjengkelkan. Namun pada akhirnya, tujuh tahun kemudian suara anis itu baru bisa didengar dan dilihat telernya. Seperti menunggu sebelumnya, waktu yang sudah banyak terlewat seolah sirna.

Kemudian muncul gambaran rupiah saat seseorang ingin membeli anis yang sudah gacor itu. Penawaran muncul di angka dua juta rupiah kemudian transaksi beres diharga dua setengah juta.

Sebatang rokok dihirup sedalam mungkin usai meneguk segelas kopi, senyum simpul tersembul membayangkan keberhasilan menggacorkan sang anis lalu membayangkan dompet yang terisi dua setengah juta dengan lembaran limapuluh ribuan.

Namun dirinya alpa menghitung pengeluaran yang sudah dihabiskan untuk mengurus anis. Dari mulai pakan hingga extra fooding termasuk ketika pertama kali membeli burung tersebut pada tujuhbelas tahun yang lalu. Jika dihitung habislah duapuluhtiga juta.

Ini hanya sekedar gambaran dari filosofi kehidupan. Bukan hanya burung anis saja yang dianggap sebagai burung misteri, akan tetapi pemeliharanya pun lebih misterius lagi. Anda saja yang menerjemahkan. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar